PENGANTAR BUKU Menanam Pendidikan, Menuai Kebaikan

IMG20201201084725

Pengantar:

Menanam Pendidikan, Menuai  Kebaikan

Dr. Asep Salahudin, MA

Wakil rektor I bidang akademik IAILM  Suryalaya Tasikmalaya

“Tidak ada yang sia-sia jika kita melakukan sesuatu untuk anak-anak. Mereka sepertinya tidak memperhatikan kita, mengalihkan pandangan dan jarang berterima kasih, tapi apa yang kita lakukan untuk mereka  tidak pernah sia-sia” (Garrison Keillor)

“Kita harus mendidik anak-anak kita untuk bermimpi dengan mata terbuka” (Harry Edwards)

Tema pendidikan telah lama diperbincangkan. Sejak Yunani Kuna para filsuf menjadikan pendidikan sebagai subjek renungannya.  Kata pendikan itu sendiri dalam bahasa  Yunani  paedagogia yang berarti pergaulan dengan anak.  Ilmu  merawat, membimbing dan menuntun anak.  Paedagogia  terurai dari dua kata:   “paid” yang bermakna anak, dan “ogogos” yaitu membina. Pedagogi sebagai seni mengajar atau seni mendidik anak-anak.

Ketika peradaban bergeser ke  Romawi, orang Romawi  melihat pendidikan sebagai edukasi:  mengeluarkan dan menuntun, tindakan memfasilitasi  potensi anak agar berkembang secara optimal ke arah yang lebih baik. Berpindah ke Islam, ayat pertama yang dipromosikan kanjeng Nabi Muhammad saw tidak bertautan dengan  ibadah ritual tapi  mengandung muatan   pendidikan: iqra bismi rabbik. Membaca (bahkan fi’il amar: bacalah!) dalam peradaban mana pun juga melambangkan tentang dunia pendidikan, edukasi menjadi visi abadi rute nubuwat.

Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan jiwa mereka dan mengajarkan kepada mereka al-kitab dan al-hikmah. Dan sesungguhnya sebelum kedatangan Nabi itu, mereka dalam kesesatan yang nyata (QS. Ali Imran : 3).

Carter V. Good dalam “Dictionary of Education” menjelaskan istilah    Pedagogy sebagai, “The art, practice of profession of teaching” (seni, praktik atau profesi sebagai pengajaran) dan “The sistematized learning or instruction concerning principles and methods of teaching and of student control and guidance; lagerly replaced by the term of education”. (Ilmu  yang sistematis yang terkait  dengan prinsip-prinsip dan metode-metode mengajar,  pengawasan dan bimbingan murid dalam arti luas diartikan dengan istilah pendidikan).

Ragam definisi

Tentu saja ada banyak definisi ihwal apa itu pendidikan. Keragaman ini alih-alih bertentangan justru satu sama lain saling melengkapi. Jadi ketika ditanya mana definisi pendidikan yang paling bagus dan koheren, jawabannya adalah manakala seluruh  definisi itu digabungkan. Walau pun urusan menggabungkan seluruh definisi tidak gampang minimal harus mengerti “filsafat ilmu”. Memiliki pemahaman memadai tentang ontologi, aksiologi dan epistemologi disiplin ilmu tersebut.

Berikut kita simak hal mendasar tentang hakikat pendidikan. Saya mencoba menggabungkannya dari banyak pakar  pendidikan sehingga menjadi satu kesatuan yang saling menguatkan.  Pendidikan adalah proses kaderisasi yang diarahkan pada spirit  pembebasan (Paula  Freire), untuk membantu anak mencapai kedewasaan (Langeveld),  dengan  pembekalan yang tidak ada pada masa anak-anak, tapi dibutuhkan pada masa dewasa (Rosseau).

Jhon Dewey melihat pendidikan sebagai  proses pembaharuan pengalaman. Dengan kata lain pendidikan sebagai sebentuk  penyesuaian yang lebih tinggi bagi manusia yang telah berkembang secara fisik dan mental (H. Horne), untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang permanen di dalam kebiasaan-kebiasaan, tingkah laku dan  pikiran (Sir Godfrey Thomson).

Kalau  masih  belum puas dengan syarah itu, kita dengarkan pemaparan   langsung Richy dalam “Planing for Teaching and Introduction to Education”: The term “education” refers to the broad function of preserving and inproving the life of the group through bringing new members into its shared concerns. Education is thus a far broader process thah that which accurs in schools. It is an essential social activity by which communicaties continue to exist in complex communicaties this function is specialized and institutionalized in formal education, but there is always the education outside the school with wich the formal process in related;

Lodge dalam buku “Philosophy of Education” menulis, The word “education” is used, sometimes in a wider, sometimes in a narrower, sense. In the wider sense, all experienceis said to the educative and life is education and education is life.  Brubacher dalam “Modern Philosophies of Education” melihat dari sisi lain: “Education should be thought of as the process of mans reciprocal adjusment to nature to his follows and to the ultimates nature of the cosmos… Education is the organized development and equipment of all the power of human being, moral, intellectual, and physical, by and for their individual and social uses, directed to word the union of these activities with their creator as their final end.

Konteks keindonesiaan

Pada aras keindonesiaan membicarakan pendidikan tidak bisa lepas dari nama besar  Ki Hajar Dewantara. Seorang manusia pergerakan yang menjadikan pendidikan sebagai elan vital untuk menginjeksikan kesadaran akal budi dan ketajaman  intelektual dalam melakukan perlawanan terhadap Hindia Belanda. Bagi Ki Hajar Dewantara, “Pendidikan umumnya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak; dalam pengertian Taman Siswa tidak boleh dipisah-pisahkan bagian-bagian itu, agar supaya kita dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan dunianya “

Menurut Ki Hadjar Dewantara terdapat lima asas pendidikan: pertama, asas kemerdekaan; kedua, asas kodrat alam; ketiga, asas kebudayaan; keempat. asas kebangsaan; dan kelima, asas kemanusiaan;

Lebih lanjut Ki Hajar Dewantara mejelaskan bahwa pendidikan harus mengutamakan lima aspek: (1) segala alat, usaha dan cara pedidikan harus sesuai dengan kodratnya keadaan; (2) kodratnya keadaan itu tersimpan dalam adat-istiadat setiap rakyat, yang oleh karenanya bergolong-golong merupakan kesatuan dengan sifat prikehidupan sendiri-sendiri, sifat-sifat mana terjadi dari bercampurnya semua usaha dan daya upaya untuk mencapai hidup tertib damai; (3) adat istiadat, sebagai sifat peri kehidupan atau sifat percampuran usaha dan daya upaya akan hidup tertib damai itu tiada terluput dari pengaruh zaman dan tempat.; oleh karena itu tidak tetap senantiasa berubah; (4) akan mengetahui garis-hidup yang tetap dari sesuatu bangsa perlulah kita mempelajari zaman yang telah lalu; (5) pengaruh baru diperoleh karena bercampurgaulnya bangsa yang satu dengan yang lain,percampuran mana sekarang ini mudah sekali terjadi disebabkan adanya hubungan modern. Haruslah waspada dalam memilih mana yang baik untuk menambah kemuliaan hidup kita dan mana yang akan merugikan.

Ki Hajar Dewantara menjangkarkan pendidikan yang diimpikannya itu pada tiga landasan keutamaan: Pertama,  ing ngarso sung tulodo (jika di depan menjadi teladan); kedua, ing madyo mangun karso (jika di tengah membangkitkan hasrat be1ajar); ketiga, tutwuri handayani (jika di belakang, memberi dorongan)

Nafas regulasi

Karena pendidikan merupakan modal dasar  manusia untuk meraih kebaikan dan kebahagiaan sekaligus menjadi pintu masuk dalam menciptakan kemajuan sebuah bangsa,  maka negara membuat sejumlah regulasi yang berkaitan dengan pendidikan.

Definisi pendidikan sendiri menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah usaha sadar menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan pelatihan bagi peranannya di masa yang akan datang

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU RI No 20/2003 (Bab II pasal 3).

Kementerian Pendidikan Nasional, pada periode 2010-2014, lebih jauh menetapkan visi layanan prima pendidikan nasional untuk membentuk insan indonesia cerdas komprehensif:   cerdas spiritual, cerdas emosional, cerdas sosial, cerdas intelektual dan cerdas kinestetis.Untuk mewujudkan visi tersebut, diterakanlah lima misi K yang meliputi; ketersediaan layanan pendidikan; keterjangkauan layanan pendidikan; kualitas/mutu dan relevansi layanan pendidikan; kesetaraan memperoleh layanan pendidikan; kepastian/keterjaminan memperoleh layanan pendidikan.

Pendidikan dasar dan karakter

Dengan mengacu pada tujuan nasional, sebagaimana ditetapkan di dalam Kurikulum Pendidikan Dasar (1993), tujuan pendidikan dasar adalah memberikan bekal kemampuan dasar  kepada siswa untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga Negara dan anggota umat manusia serta mempersiapkan siswa untuk mengikuti anggota.

Sunaryo Kartadinata (1996), menjelaskan prinsip-prinsip perkembangan siswa SD mencakup: Pertama, perkembangan adalah proses yang tidak pernah berakhir, oleh karena itu pendidikan atau belajar merupakan proses sepanjang hayat; kedua, setiap anak bersifat individual dan berkembang dalam percepatan individual. Walau pun guru memahami dan memegang patokan atau target tertentu, namun guru harus tetap memperhatikan keragaman siswa secara individual dalamaspek fisik, psikis, dan sosial.

Ketiga, semua aspek perkembangan saling berkaitan. Pendidikan jasmani harus menjadi wahana bagi perkembangan aspek lainnya, begitu pula proses pembelajaran bidang studi lainnya harus selalu dikaitkan dengan berbagai aspek perkembangan anak; keempat,         Perkembangan itu terarah dan dapat diramalkan. Perkembangan individu memiliki sekuinsi tertentu dan dapat menjadi arah perkembangan

Tentu saja pendidikan dasar khususnya dan pendidikan pada umumnya tidak terlepas dari pembangunan karakter siswa. Karakter sebagai kunci dalam pendidikan.  Berkaitan dengan pendidikan karakter para ahli menyebutnya sebagai, “Pemberian pandangan mengenai berbagai jenis nilai hidup, seperti kejujuran, kecerdasan, kepedulian, tanggung jawab, kebenaran, keindahan, kebaikan, dan keimanan.”  Thomas Lickona menjelaskan   pendidikan karakter ini sebagai  setiap upaya yang harus dilakukan guna mempengaruhi karakter siswa.

Karakter itu sendiri berkelindan erat dengan  values (nilai-nilai) dan kepribadian. Nilai-nilai  dalam pendidikan karakter membentang mulai dari  nilai keutamaan, nilai keindahan, nilai kerja, nilai cinta tanah air, nilai demokrasi, nilai kesatuan, nilai moral, sampai pada  nilai kemanusiaan.

Pangersa Abah Sepuh (KH Abdullah Mubaraok bin Nur Muhammad) dan Pangersa Abah Anom (KH Ahmad Sohibul Wafa Tajul Arifin), dengan tegas menjadikan tasawuf  sebagai mata air pengembangan karakter siswa (ikhwan) seperti terbaca, di antaranya,  pada “Tanbih” yang menjadi manifesto Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah. Dalam  Ranggeuyan Mutiara dengan tajam disebutkan beberapa karakter itu:1) ulah ngewa ka ulama sajaman (jangan membenci ulama sezaman); 2) ulah nyalahkeun kana pangajaran batur (jangan menyalahkan ajaran orang lain); 3) ulah mariksa murid batur (jangan mengkritik murid lain); 4) ulah medal sila upama kapanah (jangan lari ketika dikritisi); 5) kudu asih ka jalma nu mikangewa ka maneh (harus mengasihi kepada orang yang membenci engkau).

Dengan kata lain karakter yang dikembangkan diacukan pada ihsan, tidak  berhenti hanya level iman dan islam. Ihsan sebagai puncak nilai yang melambangkan kesadaran menjadikan “akhlak Tuhan” sebagai aktivisime. Takhallaqi bi akhlaqillah.

Dahulu pernah ditanyakan para sahabat kepada Rasulullah saw tentang ihsan. Beliau menjawab ihsan adalah sikap mental seolah-olah kita melihat Allah dan atau kalau tidak maka yakinlah bahwa Allah maha melihat setiap gerak kita hatta yang tersembunyi sekali pun. Ka annaka tarahu fa in lam takun tarahu fa innahu yaraka. Tidak akan ada satu pun yang alpa dari tatapan-Nya.

Karakter muhsin punya kemempuan menyelami kedalaman batin, dapat menggapai kebeningan nurani. Dari kedalaman jiwanya memancar cahaya Tuhan yang akan menjadi penerang langkah  dan sikapnya (kecerdasan  emosional). Hatinya peka dan rasanya tajam (kecerdasan spiritual). Ilmunya (kecerdasan intelektual) menjadi cahaya amal dan amalnya dipandu pengetahuan. Kata seorang sufi:

Siapa saja yang merasa diawasi oleh Allah di dalam perilaku batiniahnya, maka Allah akan menjaganya di dalam perilaku-perilaku lahiriahnya.

Allah swt berfirman:

“Apakah orang yang hatinya telah dibukakan Allah untuk (menerima) Islam, sehingga ia (berjalan) dengan cahaya Tuhannya (sama dengan orang yang buta hatinya)? Maka celakalah orang yang telah mengeras hatinya, dan tiada dapat mengingat Allah! Mereka itu dalam kesesatan yang nyata! Allah telah menurunkan pemberitahuan yang paling baik, (yaitu) Kitab (al-Quran) yang seragam (dalam bagian-bagiannya) yang berulang-ulang. Berdiri karenanya bulu roma orang-orang yang takut akan Tuhannya. Kemudian kulit dan hati mereka menjadi lembut karena dzikir memuji Allah. Demikianlah petunjuk Allah. Dibimbingnya dengan petunjuk itu, barangsiapa yang Dia berkenan. Tetapi barangsiapa yang dibiarkan(-Nya) sesat tiada orang yang dapat membimbingnya” (Q.S. al-Zumar/39: 22-23).

Bagi seorang muhsin, Tuhan menjadi lidahnya ketika berbicara, tangannya ketika bekerja, kakinya tatkala berjalan. Atau pendek kata, seluruh gerak hidupnya adalah cermin akhlak dan “akal Tuhan”.

Dalam riwayat Abu Hurairah dinyatakan bahwa Rasulullah bersabda, Allah berfirman: “Siapa saja yang menyakiti wali-Ku, berarti ia telah mengizinkan-Ku untuk memeranginya. Tidak ada sesuatu yang lebih baik untuk mendekatkan seorang hamba kepada-Ku daripada menunaikan berbagai kewajiban yang telah Aku bebankan kepadanya. Hamba-Ku selalu ber-taqarrub kepada-Ku dengan menunaikan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar; Aku menjadi penglihatannya yang dengannya ia melihat; Aku menjadi tangannya yang dengannya ia menyerang; Aku menjadi kakinya yang dengannya ia berjalan. Apabila hamba-Ku memohon kepada-Ku, Aku pasti akan mengabulkan permohonannya. Apabila ia meminta perlindungan kepada-Ku, Aku pasti akan melindunginya. Tidaklah Aku membenci sesuatu yang Aku lakukan sendiri daripada mencabut nyawa hamba-Ku yang Mu’min yang membenci kematian dan aku membenci rasa sakitnya”.

Penyair Jalaluddin Rumi memberikan penjelasan memikat dalam sebuah sajaknya:

Janganlah membuat sarang seperti laba-laba

Dari air liur duka cita

Di mana pakan dan lungsin pasti hancur

Namun, serahkan duka cita

Kepada Dia yang menganugerahkannya

Dan janganlah diperbincangkan lagi

Bila kamu diam, bicara-Nya adalah bicaramu

Bila kamu tidak menenun

Maka penenunnya adalah Dia

Dalam riwayat Umar bin Khatab dinyatakan, “Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah ada sekelompok orang yang bukan termasuk golongan para Nabi dan bukan pula termasuk golongan para syuhada. Akan tetapi, para nabi dan para syuhada merasa iri kepada mereka pada hari kiamat karena kedudukan mereka yang mulia di sisi Allah. Seorang sahabat bertanya, ‘Siapa mereka dan apa amalan-amalan yang biasa mereka lakukan agar kami bisa mencinta mereka?’ Rasulullah saw menjawab, ‘Mereka adalah kaum yang saling mencintai satu sama lain karena ruh Allah, bukan karena adanya hubungan kekerabatan di antara mereka, bukan pula karena faktor harta kekayaan di mana mereka saling memberi di antara mereka. Demi Allah, wajah-wajah mereka seperti cahaya, mereka seperti mimbar-mimbar yang terbuat dari cahaya. Mereka tidak takut pada saat orang-orang ketakutan. Mereka tidak merasa khawatir pada saat orang-orang merasakan kekhawatiran.’ Rasulullah kemudian membaca ayat al-Quran, ‘Ingatlah, sesungguhnya para wali Allah itu tidak merasa takut dan tidak pula merasa khawatir’ (QS. Yunus/10: 11).

Orang yang selalu mengaktifkan karakter ilahiah, akan bertanggungjawab   terhadap apa yang diperbuatnya dengan sebuah keyakinan bahwa kebajikan akan berbuah bahagia sebagaimana kejahatan niscaya berujung mala, Siapa saja yang mengerjakan suatu kebaikan, dia pasti akan melihat balasannya. Siapa saja yang mengerjakan keburukan, dia pun pasti akan melihat balasannya” (Q.S. al-Zalzalah: 7-8).

Karakter yang dihunjamkan pada samudera kedalaman ihsan inilah yang akan mengantarkan seorang pembelajar tiba pada sajatining hirup dan kesejatian pengetahuan seperti dengan bagus dipotret Abah Sepuh dalam sajak Sundanya:

Sadayana wujud elmu

elmu sajatining hirup

Hurip sajatining rasa

 jatining rasa taohid

Jamaliyah jalaliyah

hak sadaya mahluk Gusti

 Tahniah!

Buku yang ada di tangan Pembaca ini ditulis  Dosen tetap  Fakultas Tarbiyah IAILM Suryalaya. Sebagai sebuah bunga rampai yang disunting dengan ketat Nana Suryana, SAg, MPd,  tentu saja temanya warna-warni, namun dalam hamparan “taman sari” itu saya menangkap  benang merahnya berpusar pada empat inti percakapan: pendidikan secara umum, pendidikan sekolah dasar, pendidikan karakter dan aksiologi pendidikan yang mencakup kurikulum, penelitian tindakan kelas, pembelajaran dan materi. Lokusnya pada pendidikan dasar yang notabene menjadi ruh yang menentukan takdir siswa pada   jenjang pendidikan selanjutnya.

Dunia anak adalah dunia yang menyenangkan sekaligus menegangkan karena kesalahan cara mendidik dapat mempertaruhkan masa depan mereka . Menarik apa yang dibilang Harry S. Truman, “Saya telah menemukan cara terbaik memberikan nasihat pada anak Anda yaitu dengan menemukan apa yang mereka inginkan dan kemudian memberikan nasihat kepada mereka untuk melakukannya”. Buya Hamka memberikan nasihat yang senafas,

“Hendaklah adab sopan anak-anak itu dibentuk sejak kecil karena ketika kecil mudah membentuk  dan mengasuhnya. Belum dirusakkan oleh adat kebiasaan yang sukar ditinggalkan.” Dalam ungkapan Umar bin Khatab, “Didiklah anak-anakmu itu berlainan dengan keadaan kamu sekarang; karena mereka telah dijadikan Tuhan untuk zaman yang berbeda.”  Yang diperlukan pendekatan kasih sayang. Ralph Waldo Emersan memberikan kesaksian menggetarkan,“Tidak ada yang lebih indah ketika anak tertidur pulas kecuali Sang Ibu yang bahagia karena telah menidurkannya”.

Ke depannya setiap tema yang dibahas dalam bunga rampai ini bisa dikembangkan lebih jauh lagi menjadi  buku daras mandiri sehingga pembahasannya lebih utuh dan sistematis.

Sebagai sebuah rintisan awal yang diperuntukkan sebagai pegangan wajib bagi mahasiswa PGMI/PGSD, juga menjadi bacaan berharga mahasiswa Tarbiyah dan bagi para peminat pendidikan, kehadiran buku ini amat menggembirakan dan patut disambut dengan lapang dan suka cita.

Anggap saja bunga rampai ini, dalam frasa tradisi keislaman klasik, sebagai “matan”. Dan ditunggu lebih lanjut “syarah” dan bahkan “hasyiyah-nya” sehingga Pembaca tidak merasa ganggarateun. 

Selamat membaca. Selamat kepada para penulis atas torehan karyanya. Congratulation!

Tasikmalaya, 26 April 2020/3 Ramadhan 1441

 

 

.

 

 

Bagikan

Facebook
Twitter
LinkedIn
Scroll to Top