Visi Pendidikan Karakter:
Teladan Kenabian dan Kearifan Lokal
Asep Salahudin
Sebagaimana kita mafhum, bahwa salah satu misi utama Kanjeng Nabi SAW adalah mendidik masyarakat yang memiliki sumbar daya berkualitas, tidak hanya secara jasmani tapi juga ruhani. Mempersiapkan umat yang memiliki kecerdasan spiritual (SQ), nalar (IQ) sekaligus kecakapan emosional (EQ).
Muhammad SAW faham betul bahwa untuk melaksanakan transformasi sosial ke arah terwujudnya masyarakat berkeadaban, hidup yang tertib, sehat, dan berkeadilan, langkah awalnya tidak lain adalah mencanangkan pendidikan bermutu, intensif dan serius. Maka tidak heran hikayat mengabarkan kepada kita, kebijakan yang diambil Rasulullah saw selalu berorientasi pada pemajuan dan kemajuan pendidikan. Bagaimana, misalnya, masjid difungsikan tidak sekadar sebagai tempat ritual, tapi juga tempat untuk melakukan proses belajar mengajar dalam maknanya yang luas. Di sisi lain Nabi membebaskan tawanan kafir Quraisy dengan dua opsi: memebebaskan diri sengan sejumlah uang untuk kepentingan publik atau mereka harus mengajar baca tulis bagi anak-anak Muslim
Komitmen Nabi yang sangat tinggi terhadap arti penting pendidikan ini juga terpantul dari sabda-sabdanya: (1) menempatkan pendidikan sebagai satu kewajiban (thalabul ‘ilmi faridlatun); (2) pendidikan tanpa melihat diskriminasi gender (‘ala kulli muslimin wa muslimat); (3) tidak mengenal batas (minal mahdi ilal lahdi); (4) melampaui ruang (wa lau bish shin).
Di sini, sesungguhnya Kanjeng Nabi hendak memberikan teladan konkret bahwa semua potensi yang ada di lingkungan Muslim –walau pun potensi itu dimiliki non Muslim– harus digunakan untuk peningkatansumber daya manusia. Pendidikan dihidupkan agar umat memiliki wawasan luas, padu dan visioner (visioner bukan hanya cermat merancang masa depan di dunia, namun juga terampil menajamkan jalan ekskatologi, masa depan di akhirat).
Potret Madinah
Negara Madinah merupakan potret dari sebuah proses panjang pendidikan yang ditanamkan Kanjeng Nabi itu. Sebuah potret masyarakat –istilah sosiolog Robert N. Bellah– yang sangat modern pada zamannya. Pendidikan multikultural di Madinah yang dijangkarkan pada nilai-nilai keagamaan dan kearifan lokal yang dicirikan dengan etik imperatifnya berupa: (1) hadirnya masyarakat majemuk di mana satu sama lain sadar akan hak dan kewajibannya; (2) segenap persoalan yang menyangkut nasib hajat hidup orang banyak diputuskan lewat cara musyawarah mufakat; (3) keadilan meresap kepada halayak tanpa melihat asal usul agama dan suku; (4) keterbukaan, sikap lapang dada, dan toleransi menjadi watak sosial; (5) kekuatan logika lebih dikedepankan ketimbang logika kekuatan. Kelima hal tersebut, sekali lagi, merupakan cermin masyarakat terdidik, pantulan negara terpelajar.
Etos tarbiyyah seperti ini pula yang dalam perjalanan waktu, khusunya abad pertengahan, telah menjadi oksigen umat Islam terutama kaum cendekiawannya (ulama) untuk terus mengembangkan spirit pendidikan, menggiatkan pengkajian, aktif melakukan penelitian, melancarkan penerjemahan, mengintensifkan kontak budaya.
Di sisi lain kaum dermawan dan para penguasa politik Islam berlomba-lomba mengeluarkan dana, mewakafkan tanahnya bagi aktivisme pendidikan. Sejarah pun mencatat lembaga-lembaga pendidikan yang sangat bermutu semisal Darul ‘Ilmi (akademi sain), Baitul Hikmah (perpustakaan terbesar yang mengoleksi ratusan ribu judul buku sebelum pada akhirnya di bumi hanguskan pasukan primitif dari Mongol); Universitas Nidzamiyah dan Jami’ah-jam’iah (perguruan-perguruan tinggi) lain yang semuanya telah melahirkan ilmuan-ilmuan besar yang dikagumi dunia dengan disiplin ilmunya yang beragam seperti Ibn Shina (kedokteran), Al-Kindi (Filsuf), al-Khawarizm (matematika), Ibn Rusyd (filsafat) al-Ghazali (teologi), Syekh Abdul Qadir al-Jilani (tasawuf), Ibn Khaldun (sosiologi), dan sebagainya.
Modal pendidikan itu pula yang pada gilirannya telah menempatkan dunia Islam sebagai kiblat peradaban. Pijar bagi dunia lain yang saat itu tengah diselimuti kabut kebodohan. Seperti dicatat para sejarawan, tatkala ilmu-ilmu akliah (sain) menembus Dunia Eropa untuk selanjutnya mereka kembangkan sehingga terjadilah pencerahan (aufklarung) yang pada akhirnya melahirkan renaisans dan revolusi industri.
Kearifan Sunda
Dalam tradisi Sunda dikenal istilah “Mandala”. Diksi yang merujuk jazirah sakral, tempat agung, suci dan kudus di mana seseorang dengan intim melakukan laku tapa. Tapa diyakini salah satu siasat menciptakan ruang jiwa yang bening sabagai pintu masuk untuk menciptakan tautan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, sesama dan semesta.
Tempat suci ini mensyaratkan agar dijaga dengan penuh kesetiaan, dedikasi dan tanggungjawab yang kemudian sering juga disebut kabuyutan. Di kabuyutanlah para empu dan “bangsawan fikir” menulis naskah, mengajarkan agama, melakukan penelitian, mengembangkan ilmu pengetahuan dan memunajatkan doa. Kadang-kadang tempat tersebut disebut pula mandala.
Hancurnya kabuyutan menjadi isyarat runtuhnya sebuah kerajaan. Maka menjadi tidak aneh seandainya penyerangan musuh targetnya selalu dimulai dari penghancuran kabuyutan ini. Dalam Amanat Galunggung dengan telak disebutkan bahwa bangsa (negara atau masyarakat) yang tidak mampu merawat kabuyutan sehingga kemudian kabuyutan itu jatuh ke tangan lawan maka martabatnya tidak lebih mulia dari lasun di jariyan (musang di tempat sampah).
Kabuyutan dalam pemaknaan kekinian adalah metafora dari perguruan tinggi dengan peran utamanya sebagai tempat mahasiswa (dan dosen) “bertapa” dalam rangka meraih intelektualisme yang kokoh (kecerdasan nalar/lamun ngakal pasti ngakeul), spiritualisme otentik (kecerdasan ruhani/puasa manggih lebaran) dan sikap hidup yang senantiasa sebanding lurus dengan pekerti elok (kecerdasan emosional) seperti terungkap dalam keharusan berkata jujur, berbicara tidak asal ngomong (abong biwir teu diwengku, abong letah teu tulangan); jangan rakus (ngarawu ku siku), menekankan hidup tidak lupa daratan (adam lali tapel), tidak munafik (budi santri, legeg lebe, ari lampah euwah-euwah), tidak sombong (ulah pangkat memeh jeneng), harus tahu diri (ngukur ka kujur, nimbang ka awak), istikamah (ulah unggut kalinduan, ulah gedag kaanginan), transparan (ngadek sacekna nilas saplasna ), tidak pongah dengan sesuatu yang sejatinya bukan milik kita (adean ku kuda beureum); menghindari watak khianat (sumput salindung), jangan mudah terbawa arus (ulah kabawa ku sakaba-kaba) dan jangan terus berfantasi tentang sesuatu yang mustahil kita raih (ngudag-ngudag kalangkang heulang, ngeunah eon teu ngeunah ehe, ngajul bentang ku asiwung, piit ngendek-ngendek pasir)
Di Kabuyutan ranah kognitif, afektif dan psikomotorik dikembangkan. Ketika kabuyutan (perguruan tinggi/lembaga pendidikan) ini punah dan atau dikelola secara asal-asalan tentu kehancuran sebuah masyarakat hanya tinggal menunggu waktu. “Kabuyutan” amatiran hanya akan menghasilkan para lulusan yang mengalami defisit moralitas, intelektualitas yang gagap, meruyaknya plagiasi, dan keberagamaan yang hiruk pikuk hanya dengan ihwal formalitas. Dan pada akhirnya dapat dipastikan buana pancatengah (dunia yang tengah kita diami) takdirnya ngarangrangan. Semua bermula dari situasi “robohnya kampus kami.”
Harus diakui bahwa kemunduran Islam dimulai dari terabaikannya perhatian terhadap dunia pendidikan seperti dapat kita lacak dari identifikasi bikinan Arsalan, li madza taakhharal muslimun wa li madza taqaddama ghairuhum. Hari ini kita banyak menyaksikan lembaga-lembaga pendidikan di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim (termasuk di Indonesia!) seringkali dikelola dengan sangat tidak profesional, tradisi observasi telah punah dan kalau pun ada maka itu, sebagaimana dalam penelitian Azra (1999) tidak memenuhi standar ilmiah. Sementara kurikulum yang ada kebanyakan berorientasi ke belakang, tercekik pintu ijtihad yang telah ditutupnya sendiri, dengan sisitemnya yang khas: mengedepankan hapalan ketimbang daya analitis kritis. Dalam bahasa Mohammad Arkoun bahwa dunia Islam saat ini telah dilanda musibah besar berupa taqdis al-afkar al-islami: pemberhalaan terhadap pemikiran-pemikiran keislaman masa silam. Islam lebih banyak menguapkan warnanya yang ideologis daripada paras epistemologis, sehingga pada akhirnya stagnasi menjadi pemandangan yang tak terelakkan.
Padahal fitrah etos keislaman adalah penghargaan menjulang terhadap tradisi ilmiah. Bukankah ayat yang pertama kali turun adalah seruan agar terampil membaca, di lain surat Tuhan bersumpah menganggit kata “pena” (wal qalam wa ma yasthurun), senarai ayat suci dipungkas dengan seruan “afala ta(ya)qilun”.
Tentu saja marwah (ajen inajen) mandala, kabuyutan dan perguruan tinggi ini dalam kearifan lokal dihubungkan dengan asal usul riwayat yang mentahbiskan ihwal “tanda tangan” Tuhan di tempat itu. Nilai-nilai ilahiah terpancar dari jejak-jejak ini. Membaca dengan melibatkan nama Tuhan, bismi rabbik. Bismi rabbik diinternalisasikan supaya lulusan dari perguruan tinggi tidak memiliki ilmu ajug, tapi ilmu yang bermanfaat, menjadi manusia berkarakter, insan kamil. Atau dalam istilah Pangersa Abah Anom (KH A. Shohibul Wafa Tajul Arifin, RA), “Ilmu amaliah dan amal Ilmiah”. Ilmu yang menjadi laku dan laku diyangterangi ilmu.
Dalam pemahaman masyarakat Kanekes (Baduy) misalnya, seperti penelitian Saleh Danasasmita dan Atis Djatisunda (1986) bagaimana mandala Parahiyangan yang berlokasi di “Hutan Larangan” pada hulu Ciparahiyang bertemali erat dengan mitologi yang sangat luhur. Konon di Kanekes Batara Cikal, salah seorang dari tujuh batara diturunkan. Batara Cikal ini meneteskan para dalem yaitu Sanghiyang Dalem Janggala, Sanghiyang Dalem Patanjala (leluhur para puun di Cikeusik), Sanghiyang Dalem Lagoni (leluhur para puun Cikartawana), dan Sanghiyang Dalem Putih Sida Hurip (leluhur para puun Cibeo). Serupa Tuhan ketika menurunkan salah seorang malaikatnya di Huha Hira untuk menyuntikkan kesadaran “iqra”.
Visi al-Quran
Dalam sebuah firmannya Allah menobatkan umat Islam sebaga umat terbaik. Kita pun mafhum bahwa atribut itu hanya dapat digapai melalui pintu masuk pendidikan bermutu. Tanpa pembenahan (dalam segala sisi) dunia pendidikan maka selamanya atribut khair ummah hanya milik Nabi dan masyarakat Muslim abad pertengahan sementara kita hanya bisa bernostalgia merangkai romantisme kejajayaan masa silam.
Ini semua adalah tantangan dan agenda besar umat Islam yang harus dipecahkan bersama. Tanpa komitmen kuat terhadap pendidikan maka selamanya kita akan terpuruk, hanya menjadi objek (maf’ul) bukan subjek (fail) yang menentukan arah sejarah. Di atas semua itu, kebesaran masa lalu kita jadikan penerang rute ke depan. Kata Tocqueville (1805-1859) “Jika masa lalu gagal menerangi masa depan, benak manusia mengelana di tengah kabut,” .
Hakikat pendidikan adalah pembebasan dari “lupa”, agar terhindar dari sekapan pelapukan eksistensial-kemanusiaan. Kata Milan Kundera, sang penyair Cekoslovakia, dalam The Book of Laughter Forgetting, “Hakikat perjuangan adalah gelora tanpa batas melawan lupa”.
Saudara Nana Suryana, di tengah kesibukannya menuntaskan program doktoral di UPI Bandung, masih sempat merefleksikan ihwal semesta pendidikan yang berkisar seputar guru, karakter dan pendidikan nilai patut diapresiasi. Buku yang dianggit dari tulisan-tulisannya yang bertebaran di media massa sesungguhnya juga adalah ajakan bagi setiap kita untuk bersama-sama memikirkan persoalan seputar pendidikan terutama kaitannya dengan pembentukan karakter yang nyata betul sangat dibutuhkan bangsa kita akhir-akhir ini
Tabik!
Tasikmalaya, 20 Maret 2020
AS