NU, HTI dan Pancasila

hti-menolak-mati-bertransformasi-menyebar-bergerak-di-bawah-tanah-U8qNCBOhw2

Salah satu ormas pendukung Perppu no. Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU Organisasi Kemasyarakatan adalah Nahdatul Ulama. Lewat Perppu ini ormas yang menolak Pancasila harus dibubarkan. Salah satu korbannya adalah HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) yang sejak awal didirikannya  bukan hanya mengusung sistem politik khilafah namun juga pada saat yang bersamaan tidak mengakui Pancasila, menampik UUD 1945 disamping juga mengharamkan demokrasi.

Di banyak negara malah di Turki sendiri hal mana gagasan politik khilafah pernah diterapkan dan seringkali dijadikan rujukan (1299-1923) ternayata Hizbut Tahrir termasuk ormas yang dilarang sejak tahun 2004. Demikian juga 20 negara mayoritas muslim  melarang HT seperti Malaysia, Banglades, Pakistan, Libya, Mesir, Tunisia, Yordania, Arab Saudi, Suriah, dan lain sebagainya. Di Indonesia, baru di tangan Presiden Jokowi, ormas ini bisa “ditertibkan”. Dalam kaidah Ushul Fiqih (epistemolgi hukum Islam) yang sangat terkenal di kalangan santri berlaku ketentuan Darul mafasid muqaddamun ala jalbil mashalih. Menolak /mencegah kerusakan harus didahulukan daripadada melakukan kebaikan.

Pembubaran itu sesungguhnya sama sekali tidak bertentangan dengan roh demokrasi apalagi bagi kalangan yang sama sekali tidak setuju terhadap demokrasi itu sendiri. Tapi semata sebagai satu upaya untuk mengokohkan sendi sendi bernegara. Pancasila itu adalah kesepakatan para leluhur kita  yang tidak boleh dilanggar siapa pun juga dan secara substansial tidak ada satu pasal pun yang bertolak belakang dengan agama. Pancasila semacam Piagam Madinah dalam konteks kenabian yang menjadi titik temu semua kalangan yang berbeda, menjadi payung tempat bernaung mereka yang berlainan  baik agama, suku, ras atau budayanya. Atau dalam istilah al-Quran mitsaqan galidhza (perjanjian yang kokoh) dan siapa saja yang menolaknya maka dapat dipastikan dia telah menghianati perjanjian itu.

Sudah final

Bagi ormas Nahdatul Ulama yang akte kelahirannya (1926)  jauh lebih tua dari pada NKRI  (1945), Pancasila dipandang sebagai Dasar Negara dan ideologi yang telah final, bukan titik antara untuk  pada akhirnya hendak mendirikan negara Islam ketika ada sebuah kesempatan. Karena sudah final, maka menjadi mudah dipahami kalau dengan serta merta Nahdatul Ulama menyetujui Perppu seperti itu.

Dalam ungkapan Abdurrahman Wahid, “Penerimaan atas Pancasila sebagai asas itu juga dilakukan secara keagamaan, dalam arti mendudukan agama dan Pancasila pada tempat masing-masing tanpa harus dipertentangkan. Antara Pancasila sebagai landasan ideologis-konstitusional dan akidah Islam menurut faham ahlisunnah waljamaah sebagai landasan keimanan, tidak dapat dipertentangkan, karena pada hakikatnya orang berasas Pancasila karena kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa dan dengan demikian megambil salah satu dasar Pancasila, sedangkan berakidah adalah tindakan  mengkonkretkan Pancasila dalam salah satu bidang kehidupan bangsa, yaitu kehidupan beragama. Hubungan yang saling mendukung antara akidah dan asas, dus antara Islam sebagai agama  dan Pancasila sebagai ideologi, adalah hubungan yang saling mengisi yang kreatif, yang akan menyuburkan kedua-duanya”.

Agama dan Negara

Belajar kepada Bung Karno lebih menukik lagi.Bagaimana Soekarno dengan sangat visioner menempatkan agama (Islam) dalam domain spiritualisme (api) dan negara dengan Pancasilanya adalah lain sisi yang tidak semestinya mengurus salah satu agama saja sebagaimana agama salah kaprah kalau melakukan intrvensi terhadapa urusan negara.

“. . . Agama itu perlu dimerdekakan dari asuhannya supaya menjadi subur. Kalau Islam terancam bahaya pengaruhnya di atas rakyat Turki, maka itu bukanlah karena tidak  diurus  pemerintah tetapi justru diurus oleh pemerintah. Umat Islam terikat kaki-tangannya dengan rantai kepada politiknya pemerintahan. Hal ini adalah suatu halangan besar sekali buat kesuburan Islam di Turki dan bukan saja di Turki, tetapi di mana-mana saja, karena pemerintah campur tangan di dalam urusan agama, di situ menjadikan ia satu halangan besar yang tak dapat dienyahkan.” (Soekarno, 2005: 404-405).

Sebuah bacaan cerdik, sebab Soekarno mengalami sendiri dan melihat bangsa-bangsa lain yang cerai berai karena dipicu sengketa teologis kekanak-kanakan, pemantiknya seringkali adalah metafisika kebencian karena salah kaprah dalam menafsirkan firman Tuhan dan sesat pikir ketika memaknai kebangsaan kaitannya dengan keagamaan. Soekarno mampu melampaui sentimen keagamaan dan menawarkan visi keagamaan dan kebangsaan yang lapang yang terumuskan dalam Pancasila..

Soekarno seakan dibimbing “wahyu” bahwa bangsanya yang baru saja keluar dari sekapan kaum kolonial dalam waktu sekejap akan berubah menjadi medan pertumpahan darah karena kontestasi keagamaan yang hendak dipaksakan menjadi bagain integral dari batang tubuh kenegaraan.

Sikap lentur

Sikap NU yang lentur tersebut selaras dengan lima prinsip dasar yang dirumuskan pendirinya Khadarutsy Syaikh KH Hasyim Asy’ari yang meliuti: (1) tawasuth (moderat, berada di tengah tidak tertarik pada ekstrem kiri juga bukan ekstrem kanan; (2) tawazun (seimbang dalam banyak hal termasuk dalam memenuhan unsur akal dan wahyu); (3) itidal (tegak lurus pada kebenaran); (4) tasamuh (toleran, terbuka, tidak memaksakan kehendak, lapang dada dan menghargai keragaman pendapat); (5) amar marf nahi munkar (bijaksana dalam memngajak keapda kebaikan dan menolak segala bentuk keburukan yang dapat merusak kehidupan).

Maka menjadi bisa dipahami kalau lambang yang dipakai NU mencerminkan tentang sikap politik inklusif dan watak keberagaman yang lapang seperti itu. Bola dunia  menyimpulkan tentang kehidupan yang harus dijalani dengan karya dan amal kebaikan dan gambar bumi menunjukkan tempat manusia berpijak dan juga meneknkan kesadaran bahwa kita berasal dari tanah dan akan kembali kepada tanah. Peta Indonesia menggambarkan semangat nasionalisme dengan   tali bersimpul yang melingkari globe.  Untaian tali berjumlah 99 (asmaul husna). Bintang besar metafora dari  kepemimpinan Nabi Muhammad saw. Empat bintang di atas garis khatulistiwa itu terhubung dengan empat Khulafaur Rasidin (Abu Bakar Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib) dan empat bintang di bawah garis khatulistiwa  adalah mata rantai keilmuan imam mazhab yang juga berjumlah empat orang (Imam Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali).

Sikap politik inklusif seperti ini yang seharusnya menjadi nafas ormas keagamaan di Indonesia di tengah masyarakat yang plural..(MEDIA INDONESIA)

Bagikan

Facebook
Twitter
LinkedIn
Scroll to Top