NAFAS KEINDONESIAAN DALAM SPIRITUALISME SUNDA

Mayjen TNI (Purn) Dr. H. TB Hasanuddin, S.E., M.M.

Mayjen TNI (Purn) Dr. H. TB Hasanuddin, SE, MM
Dewan Pangaping Paguyuban Pasundan

Sebagaimana sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Islam dan Sunda adalah dua entitas yang melekat dan tidak mudah dipisahkan. Sehingga ada sebuah ungkapan yang nyaris diamini bersama bahwa Islam adalah Sunda dan Sunda itu Islam. Jakob Sumardjo dalam Paradoks Cerita-cerita Si Kabayan (2014) menjelaskan fakta seperti itu tidak terlepas dari latar masyarakat Sunda yang berbasis huma.

Karakter huma yang memungkinkan masyarakat Sunda menjadi dinamis, tidak matuh cicing pada sebuah tempat. Kerajaan-kerajaan Hindu Sunda hanya berpengaruh di wilayah terbatas, berbeda dengan karakter sawah pada masyarakat Jawa yang menetap. Ketika datang para penyebar Islam dengan mudah mereka keluar masuk kampung tanpa menimbulkan banyak hambatan. Akhirnya terserap dan menyatu dengan sistem keyakinan mereka sebelumnya.

Di sisi lain Islam dan Sunda ketika dikaitkan dengan nilai-nilai kebangsaan juga sangat beririsan. Sejarah keindonesiaan pada sudut tertentu terhubung dengan pergumulan orang Islam yang ada di Sunda. Artinya bahwa keindonesiaan menemukan akar kulturalnya salah satunya dari khazanah kekayaan peradaban masyarakat Jawa Barat.
Nasionalisme manusia Sunda akhirnya, meminjam istilah Bung Karno, berada dalam “perkakas ketuhanan”.

Mayjen TNI (Purn) Dr. H. TB Hasanuddin, S.E., M.M. Dewan Pangaping PB Paguyuban Pasundan

Dalam buku Di Bahwa Bendera Revolusi (1965), Bung Karno lebih jauh menegaskan bahwa keislaman yang benar itu selaras dengan upaya menjaga akar-akar keindonesiaan yang terdiri dari beragam suku. “Di mana-mana orang Islam bertempat, disitulah ia harus mencintai dan bekerja untuk keperluan negeri itu dan rakyatnya”. Atau dalam Bahasa kawan dekat Bung Karno, K.H. A. Wahab Chasbullah “Nasionalisme ditambah bismillah itulah Islam. Kalau Islam dilaksanakan dengan benar pasti umat Islam akan nasionalis.”

Saya menyambut baik buku karya K.H. Asep Salahudin ini. Buku yang menjelaskan tentang serat pikiran manusia Sunda terkait dengan alam spiritualismenya. Spiritualisme yang dimaknainya secara luas. Tidak hanya berhubungan dengan moralitas-ketuhanan namun juga etik imperatifnya moralitas kemanusiaan bahkan politik dan kenegaraan.

Dalam ungkapan Bung Karno pada pidato 1 Juni 1945 spiritualisme seperti ini terwadahi dalam frasa “Ketuhanan yang Berkebudayaan”. Prinsip spiritualisme yang terbuka dan inklusif, “Prinsip Ketuhanan. Bukan saja Bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang hendaknya bertuhan, Tuhan-nya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al-Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad, saw, orang Budha menjalankan ibadahnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi, marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaklah negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara leluasa. Segenap rakyat hendaknya berTuhan secara berkebudayaan, yakni dengan tiada egoisme agama…Sebagai tadi telah saya katakan, kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua. Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoeseomo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, semua buat semua”

Ketuhanan yang memberikan penghormatan tinggi kepada mereka yang berbeda, sekaligus memuliakan keragaman, “Nabi Muhammad saw telah memberikan bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid, tentang menghormati agama-agama lain. Nabi Isa pun telah menunjukkan verdraagzaamheid. Marilah kita di dalam Indonesia merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu… Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti luhur. Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain”

Dari spiritualisme Sunda, kita diajak untuk mengembangkan pikiran terbuka. Sunda dan Islam pada ranah “iman” menjadi bersahutan. Hanya berbeda dalam bahasa yang digunakan. Pada masyarakat Kanékés di Banten, misalnya, terlihat sekali tauhid keyakinan kepada kekuasaan tertinggi pada Sang Hiyang Keresa (Yang Maha Kuasa) atau Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki). Disebut pula Batara Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Gaib), yang bersemayam di Buana Nyungcung. Semua dewa dalam konsep agama Hindu (Brahma, Wisnu, Syiwa, Indra, Yama, dan lain-lain) tunduk kepada Batara Séda Niskala.

Islam, Sunda dan keindonesiaan menjadi akrab berjumpa pada wilayah spiritualisme.

Kajian yang dilakukan
Kang Asep diangkat dari kebudayaan Sunda lengkap dengan manusianya. Manusia di sini baik yang bersifat historis atau mitologis, berada pada lingkup sejarah atau pra-sejarah.

Saya senang atas terbitnya buku ini. Wilujeng. Mugia ginanjar salamina. Waluya sadayana.

Jakarta, Juni 2022
Catatan: tulisan semula sebagai kata sambutan untuk buku Jatiniskala: Memahami Spritualisme Manusia Sunda, karya Asep Salahudin (2022)

 

Bagikan

Facebook
Twitter
LinkedIn
Scroll to Top